MAKNA INTERPERSONAL DALAM
‘SAYANG’ LAHIR BATIN DAN KEPATUHAN ADAT PADA PEMILIHAN GUBERNUR SUL- SEL: SEMIOTIKA
SOSIAL
INTERPERSONAL MEANING OF LOVING
OVERTLY AND COVERTLY AND CULTURAL
COMPLIANCE IN SOUTH SULAWESI GOVERNOR ELECTION: SOCIAL
SEMIOTIC
St.
Ramlah, Tadjuddin Maknun, Gusnawaty
Jurusan
Bahasa Indonesia Program Pascasarjana Universitas Hasanuddin
Alamat
Korespondensi :
St.
Ramlah
Program
Pascasarjana
Universitas
Hasanuddin
Makassar,
90245
HP
: 085240555800
Email:kucingputih_massenrempulu@yahoo.com
Abstrak
Makna
dalam wacana politik sebagai ‘pisau’ penerjemah dan dapat merepresentasikan
hubungan antarpartisipan pelibat wacana. Penelitian ini
bertujuan mengetahui tanda-tanda dan makna interpersonal dalam wacana politik
pemilihan Gubernur Sulawesi Selatan periode 2013-2018. Penelitian ini
dilaksanakan di Kota Makassar, Kabupaten Gowa dan Kabupaten Enrekang.
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif yang digambarkan secara
deskriptif. Data wacana politik bersumber dari 13 baliho dan 2 spanduk dari dua
pasang calon gubernur dan wakil gubernur yaitu, Syahrul Yasin Limpo-Agus Arifin
Nu’mang dan Ilham Arief Sirajuddin-Aziz Qahhar Mudzakkar. Pengambilan data
menggunakan teknik dokumentasi. Data diidentifikasi dan diklasifikasi
berdasarkan tanda-tanda verbal dan tanda non-verbal.Setelah itu, data
diinterpretasi makna interpersonalnya meliputi: afek, status dan kontak yang
disajikan secara deskripsi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa wacana politik menunjukkan adanya tanda-tanda
verbal dan non-verbal. Secara umum
tanda-tanda yang termuat dalam wacana politik pemilihan Gubernur Sulawesi
Selatan adalah, kesetiaan pendukung, kedekatan dengan masyarakat, dukungan
kepala daerah, kebanggaan, bersama PDK, sayang lahir batin, prestasi, 2 pilihan
tepat, ajakan menuju perubahan,
merangkul masyarakat secara umum, pilihan orang pintar, kepatuhan adat,
kedekatan dengan pedagang dan dukungan KBPPP. Makna interpersonalnya menunjukkan
adanya afek, status dan kontak. Afek
positif dan negative, hubungan status sosial yang hierarkies dan non-hierarkis
dan kontak menunjukkan tingkat keterbacaan teks yang lebih mudah dipahami
setelah memaknai tanda-tandanya.
Kata kunci : Makna interpersonal, wacana
politik
Abstract
The meaning in
the political discourse is as translation tools and can present the
relationship of the participant in the discourse. This research is aimed to know symbols and
interpersonal meaning of political discourse in south Sulawesi Governor
Election for the period of 2013-2018. The research was conducted in Makassar
city, Gowa and Enrekang Regencies. This was qualitative research explained
qualitatively. The political discourse data came from 13 billboards and two
banners of the two pairs of governor and vise governors candidates, they are
Syahrul Yasin Limpo-Agus Arifin Nu`mang and Ilham Syrajuddin-Aziz Qahar
Mudzakkar. The data were collected from documentation and classified and
identified based on verbal and non verbal symbols. Moreover, the data were
interpreted with interpersonal meanings including assessment, status, and
contact explained descriptively. The results indicate that there are political
discourse verbal and non verbal symbols. Generally, symbols of political
discourse in south Sulawesi Governors election were supporters` loyalty,
propinquity to the public, regency head supports, pride, togetherness with PDK,
loving overtly and covertly, achievement, two is the right choice, invitation
to the changes, embrace public generally, the choice of smart people, cultural
compliance, closeness to the retailers and KBPPP`s supports. The interpersonal
meaning showed effects, status, and contacts. Positive and negative effects,
hierarchy and non-hierarchy social status relationship, and contacts sowed the
levels of text which are much easier to comprehend after giving meaning to the
symbols.
Keywords:
interpersonal meaning, political discourse.
PENDAHULUAN
Memang
benar yang diungkapkan Eriyanto (2006) bahwa makna dalam teks perlu dibongkar
untuk mengetahui makna-makna tersembunyi dari teks itu sendiri. Bahasa sebagai medium dalam memaknai sesuatu sehingga
efektif untuk menciptakan pengaruh serta berperan besar dalam percaturan
kekuasaan. Bahasa dapat mengubah opini publik terhadap suatu masalah. Kekuatan
bahasa mampu mendongkrak popularitas dan mengubah image seseorang. Tim
kreatif para kandidat pada pesta demokrasi berusaha menampilkan dan menciptakan
pilihan-pilihan kata yang dianggap menarik, tampil beda dan mengandung
makna-makna tertentu. Danial (2009) memperjelas bahwa pasca orde baru semakin
marak iklas politik televisi menjelang pemilu. Olii (2007) masing-masing kandidat
berusaha menampilkan image dan beradu
performance dalam realitas penciptaan
dan pemertahanan citra dirinya.
Wacana politik merupakan deretan kata
yang terbangun sebagai representasi dalam penyampaian pesan. Hal yang sama juga
diiungkapkan Arifianto (2009) makna dalam wacana politik sangat penting karena dianggap
sebagai ‘pisau’ penerjemah pikiran dan visi-misi para kandidat. Sebagai bentuk
kampanye mereka memadukan gambar, mengombinasikan warna dan memilih kata,
frasa, jenis huruf, sudut pandang, dan tanda-tanda lainnya menambah ‘megah’
atribut kampanye. Pilihan bahasa pun beragam, mulai dari bahasa daerah, bahasa
nasional hingga penyisipan bahasa internasional juga terdapat dalam teks
politik. Dalam teks politik dapat menunjukkan hubungan interpersonal
antarpartisipan. Gusnawaty (2009) mengatakan bahwa metafungsi interpersonal ini
berhubungan dengan realisasi hubungan atau interaksi antarpartisipan dalam
teks. Teks
tidak hanya menentukan content melainkan juga
menentukan relationship. Hubungan interpersonal yang baik menunjukkan keterbukaan
orang untuk mengungkapkan diri sehingga makin efektif komunikasi yang
berlangsung di antara peserta komunikasi.
Tidak berlebihan jika Eko (2009) mengungkapkan
bahwa semiotika memuat teori kebohongan, secara
pricipiil semiotika merupakan sebuah disiplin ilmu yang mempelajari segala
sesuatu yang dapat digunakan untuk berbohong. Sebelumnya, Van Zoest (1993) menjelaskan bahwa semiotika berhubungan
dengan pengkajian
tanda dan segala sesuatu yang berhubungan dengan tanda. Terkait
dengan teks politik, Semiotika Sosial sebagai pendekatan yang memberi tekanan pada konteks sosial,
yaitu pada fungsi sosial yang menentukan bentuk bahasa, hubungan antara bahasa dengan struktur sosial,
dengan memandang struktur sosial sebagai satu segi dari sistem sosial. Sehubungan dengan suatu bahasa dalam sebuah teks
itu ditentukan oleh fungsi sosial, karenanya Halliday (1994) menilai bahwa di balik sebuah teks sesungguhnya
terdiri dari makna-makna dan
memuat tiga komponen penting yaitu; medan wacana (field of discourse), pelibat wacana (tenor of discourse) dan sarana wacana (mode of discourse). Penelitian ini mengacu pada pelibat wacana (tenor of discourse),
merujuk pada partisipan atau orang-orang yang terlibat dalam teks. Sobur (2009) menjelaskan bahwa dalam pelibat wacana
menguak bagaimana sifat-sifat partisipan, status serta peran sosial
dan peran bahasa yang digunakan untuk mengekspresikan hubungan peran sosial di
dalamnya.
Santoso (2003) mendeskripsikan pelibat ini terdiri dari 3 sub-bagian, yaitu:
afek, status, kontak. Afek
merupakan penilaian (assesment, evaluation dan judgement) antarpartisipan di dalam teks. Afek dalam teks
menunjukkan bentuk penilaian dan pilihan sikap yang terjadi antar partisipan.
Penilaian ini dikategorikan menjadi 2, yaitu : penilaian positif dan negatif.
Penilaian positif jika partisipannya saling mendukung, menghargai dan
menyanjung partisipan lainnya dalam teks. Penilaian negatif jika partisipan saling
menyerang, mengkritik, mengejek, mencela atau tidak menyetujui pendapat
partisipan yang lain. Status membahas
status sosial atau hubungan peran partisipan baik hubungan hierarkie maupun
non-hierarki. Kontak mengevaluasi tingkat keterbacaan bahasa yang digunakan dalam
teks.
Penelitian sebelumnya
yang berhubungan dengan topik permasalahan ini, Tadjuddin (2005) tentang tuturan
komunitas nelayan Makassar di Galesong: Kajian Semiotika Sosial. Masdiana
(2008) tentang Makna Simbolik dalam Baliho Bakal calon Walikota Makassar
: Analisis Semiotika. Penelitian ini mendeskripsikan makna
dari simbol-simbol
yang terdapat dalam baliho. Selanjutnya, Hasyim (2006) dalam
tulisannya Analisis Semiotika Sosial Terhadap Isu Penyelesaian Hukum Kasus
Korupsi Soeharto dalam Editorial SKh
Republika. Temuan
hasil penelitian ini melalui
editorial yang dimuat dua kali dengan selang waktu satu minggu, maka Harian Republika dalam mengkonstruksikan realitas upaya penyelesaian hukum
kasus dugaan korupsi yang dilakukan Pak Harto selama berkuasa memperlihatkan
adanya konsistensi dalam upaya mereka mengarahkan makna yang diinginkannya
.
Menjelang pemilihan
gubernur Sulawesi-Selatan periode 2013-2018, para kandidat menyosialisasikan
diri melalui media kampanye berupa baliho dan spanduk. Penelitian ini bertujuan
untuk mengetahui tanda-tanda dan
makna interpersonal dalam wacana politik pemilihan Gubernur
Sulawesi Selatan.
BAHAN
DAN METODE
Rancangan dan lokasi
penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif yang
dijabarkan secara deskripsi. Penelitian ini dilaksanakan di kota Makassar, kabupaten
Enrekang dan kabupaten Gowa. Penelitian dilakukan selama lima bulan terhitung
dari Mei 2012 hingga September 2012
dengan rincian satu bulan persiapan, dua bulan pengambilan data dan dua bulan analisis data serta penyusunan hasil
penelitian.
Populasi dan sampel
Dalam penelitian
ini digunakan kamera digital casio exilim
14 megapixel untuk merekam gambar dan teks. Data dalam penelitian ini diperoleh dari baliho dan spanduk
media kampanye pemilihan periode
2013-2018. Penelitian ini dibatasi dengan mengambil data
media kampanye dua pasang calon gubernur dan wakil gubernur Sulawesi Selatan, yaitu : Syahrul Yasin Limpo-Agus
Arifin Nu’mang (8 baliho dan 1 spanduk) dan Ilham Arief Sirajuddin-Aziz Qahhar Mudzakkar (5 baliho
dan 1 spanduk). Namun,
jurnal ilmiah ini hanya memuat 2 data baliho masing-masing 1 dari pasangan sayang dan pasangan IA.
Metode pengumpulan dan
analisis data
Metode pengumpulan data dalam penelitian dilakukan
melalui dokumentasi. Setelah
data berupa wacana politik baliho dan spanduk dikumpulkan dari lokasi penelitian, data tersebut dikelompokkan berdasarkan pasangan calon gubernur dan wakil gubernur. Kemudian, data
diidentifikasi tanda-tanda yang terdapat dalam baliho dan
spanduk baik tanda verbal
maupun tanda non-verbal. Setelah itu, data diinterpretasi makna interpersonalnya meliputi
afek, status dan kontaknya dipaparkan secara deskripsi.
HASIL
Tanda-tanda verbal dan
non-verbal
Data
wacana politik pasangan Syahrul Yasin Limpo-Agus Arifin Nu’mang (gambar 1) sayang lahir batin, memperlihatkan
tanda-tanda verbal maupun non-verbal. Pasangan sayang menampilkan citra diri mereka sebagai pemimpin yang
berwibawa, beragama, bersahaja melalui penggambaran tanda non-verbal. Selanjutnya,
tanda verbal yang dikemas sangat menarik. Pesan yang ingin disampaikan adalah
mohon maaf lahir batin. Teks yang muncul dalam baliho sayang lahir batin. Ucapan yang disampaikan pada bagian akhir saja
yaitu lahir batin. Penanda lain dari teks ini dalah pilihan warna font yang berbeda dengan warna teks sayang. Sayang lahir batin dimaknai bahwa pasangan Syahrul Yasin Limpo-Agus
Arifin Nu’mang mengucapkan mohon maaf lahir batin kepada semua masyarakat
Sulawesi Selatan.
Jika
dihubungkan dengan pilkada di Sulawesi Selatan, sayang lahir batin memberi pemaknaan yang berbeda. Muatan politik
terlihat dari paduan kata yang memiliki kekuatan makna. Sayang tidak hanya sebagai ungkapan rasa cinta tetapi juga menjadi
akronim dari nama Syahrul Yasin Limpo dan Agus Arifin Nu’mang. Lahir batin menunjukkan jiwa dan raga
sehingga kadar kecintaan terhadap pasangan ini meliputi jiwa dan raga.
Sebagai
perbandingan, data wacana politik IA kepatuhan
Adat (gambar 2) memuat beberapa
tanda-tanda yang mewarnai baik tanda verbal dan non verbal. Tanda non-verbal
berupa foto tokoh, warna dan simbol-simbol. Pasangan IA ‘menjual’ citra diri
sebagai pemimpin yang sederhana dan memiliki kedekatan dengan masyarakat.
Melalui teks politik dalam gambar 2, pasangan IA menunjukkan sikap kearifan
lokal dengan mengikutkan falsafah suku bugis dalam jargon-jargonnya.
Makna Interpersonal
Pada dasarnya,
penelitian ini melihat bagaimana hubungan interpersonal antar
partisipan-partisipan dalam teks politik. Baliho Sayang Lahir Batin merupakan salah satu bentuk baliho yang memberi
informasi dan unsur politiknya utuh dalam teks disertai pola teks yang menarik.
Kemampuan tim kreatif dalam memberikan nuansa yang berbeda pada saat momentum
tertentu. Tujuan untuk menyampaikan pesan secara umum dan tetap mengandung
muatan politik menjelang pilkada. Situasi ini sangat menguntungkan bagi
partisipan (Syahrul Yasin limpo-Agus Arifin Nu’mang) karena nilai interpersonal
yang lahir dari konteks tersebut sangat tinggi.
Konteks dari
teks ini memperlihatkan bahwa partisipan pembaca atau partisipan di luar baliho
seolah menjadi bagian penting. Sayang
lahir batin biasanya dilafalkan oleh pasangan kekasih atau orang yang
saling mencintai dan berkomitmen bersama untuk selamanya. Konteks dalam baliho
ini membawa partisipan merasa dekat dengan partisipan Syahrul dan Agus. Partisipan
(tim sukses/masyarakat pendukung) dalam konteks sayang lahir batin, menempatkan partisipan pembaca pada posisi yang
dekat dengan partisipan sehingga memiliki penilaian yang positif. Dan, posisi
serta status sosial dianggap setara, tidak memandang profesi dan kedudukan.
Konteks dalam status ini memperlihatkan kadar kedekatan yang tinggi. Partisipan
Syahrul Yasin Limpo-Agus Arifin Nu’mang melalui teks sayang lahir batin menyampaikan ucapan di hari kemenangan dengan
menggunakan akronim nama mereka yaitu Sayang
dan menambah frasa lahir batin sehingga terbentuk Sayang Lahir Batin. Kontak, tingkat
keterbacaan (readability) teks yang digunakan termasuk familiar dan maksudnya
mudah dipahami. Teks ini memiliki bagian-bagian yang jelas, dan tujuan yang
ingin disampaikan, partisipan masyarakat pendukung tetap bersama pasangan
Syahrul Yasin Liompo dan Agus Arifin Numang.
Selanjutnya,
makna interpersonal dalam wacana politik IA, kepatuhan Adat (gambar2) kontek fisik
berada di beberapa ruas jalan di kota Makassar. Teks menggunakan bahasa Bugis
dan di wilayah Sulawesi Selatan, suku Bugis adalah salah satu suku yang
terbesar. Daya tarik dari wacana politik (gambar 2) ini adalah memunculkan
falsafah suku bugis dalam teks. Falsafah Bugis memiliki nilai-nilai
persaudaraan yang kuat sehigga falsafah ini menjadi pedoman dalam pergaulan.
Konteks dari
situasi dalam teks memberikan pemahaman yang berbeda dari pengertian falsafah
bugis. Pada umumnya falsafah Bugis yang
dikenal sipaka lebi, sipaka tau, dan
sipaka inge. Hakekat dari teks tersebut adalah usaha untuk saling
menghargai dan menghormati serta saling mengingatkan antara sesama manusia dan
tidak memandang latar belakang baik strata sosial maupun strata pendidikan.
Sementara konteks yang muncul dapat gambar 2 ini mendeskripsikan bahwa tidak
hanya saling menghargai, menghormati dan saling mengingatkan tetapi juga harus
bersepakat dalam mendukung pasangan Ilham-Aziz sebagai gubernur Sulawesi
Selatan periode 2013-2018.
Kepatuhan Adat
juga menyampaikan pesan bahwa salah satu strategi pemertahanan kearifan lokal
adalah dengan adanya kesepakatan. Kesepakatan untuk bersama-sama memilih
pasangan IA sebagai gubernur dan wakil gubernur. Pasangan IA merupakan salah satu
pasangan yang menjunjung tinggi
nilai-nilai yang termuat dalam falsafah Bugis dan mencerminkan kesederhanaan
yang bertumpu pada kearifan lokal.
PEMBAHASAN
Penelitian ini
menunjukkan adanya tanda verbal dan non-verbal teks politik pasangan sayang dan IA. Pada media kampanye
pasangan Syahrul Yasin Limpo-Agus Arifin Nu’mang ditemukan tanda-tanda verbal
berupa: kesetiaan pendukung, kedekatan dengan masyarakat, dukungan kepala
daerah, kebanggaan, bersama PDK, sayang lahir batin, prestasi, 2 pilihan tepat.
Secara umum tim sayang memunculkan jargon
untuk melanjutkan kepemimpinannya pada periode 2013-2018, menggambaran
keberhasilan program pendidikan dan kesehatan gratis serta
penghargaan-penghargaan tingkat nasional, menunjukkan kebesaran partai yang mengusungnya sedangkan non-verbal berupa pilihan latar
hitam, warna font kuning, gambar diri
penonjolan wajah dan potret diri bersama pendukung-pendukungnya.
Semiotika dalam
sebuah iklan politik dalam media memang objek yang kaya intensitas, tetapi
penuh dengan gebyar mengejar popularitas (Handaka,2008). Hal ini pun terjadi menjelang
pemilihan gubernur Sulawesi-Selatan periode 2013-2018. Pasangan sayang dalam teks politiknya
memperlihatkan afek, status dan kontak. Santoso (2003) mengemukakan bahwa tiga
komponen inilah yang menjadi indikator hubungan interpersonalnya. Dalam teks sayang lahir batin, partisipan Syahrul Yasin Limpo-Agus Arifin Nu’mang
menempatkan dirinya sebagai pihak yang memiliki kedekatan dengan partisipan
pendukung dan begitupun sebaliknya. Konteks fisik baliho ini berada di jalan
Alauddin kota Makassar. Salah satu jalan menuju kabupaten Gowa, Takalar,
jeneponto, Bantaeng, Bulukumba, Sinjai dan Selayar. Konteks fisik ini
memengaruhi jumlah masyarakat yang membaca. Penempatan baliho ini tidak jauh
dari terminal antar kabupaten di Malengkeri Makassar. Dimana wilayah ini
dianggap sebagai wilayah kekuatan sayang.
Boleh jadi, situasi ini yang melatari pemasangan baliho di daerah Alauddin.
Syahrul Yasin Limpo ingin memelihara partisipannya yang berpeluang besar akan
mendukungnya pada pemilihan nanti. Hal ini sejalan dengan yang diungkapkan
Manurung (2009) bahwa melalui pendekatan bahasa, seseorang dapat dijadikan
pendukung setia.
Partisipan
pasangan sayang dengan partisipan
lain di luar teks memperlihatkan kedekatan diantara mereka. Status dan hubungan
sosialnya bersifat horisontal. Partisipan (tim sukses/masyarakat pendukung)
dalam konteks sayang lahir batin,
menempatkan partisipan pembaca pada posisi yang dekat dengan partisipan
sehingga posisi dan status sosial dianggap setara, tidak memandang profesi dan
kedudukan. Dalam masyarakat Makassar dikenal ada 3 golongan stratifikasi
sosial, yaitu : golongan karaeng ‘bangsawan’,
golongan tumaradeka ‘menengah’ dan
golongan ata ‘hamba atau abdi’
(Mattulada,1985). Stratifikasi ini ternyata tidak dimunculkan dalam teks dengan
anggapan bahwa status social yang horisotal menunjukkan hubungan interpersonal
yang lebih terbuka.
Kontak, tingkat
keterbacaan (readability) teks yang digunakan termasuk familiar dan maksudnya
mudah dipahami. Pada bagian awal berbentuk kata benda fungsi subjek yaitu Sayang yang merupakan bentukan akronim
nama. Lahir batin menduduki fungsi predikat sehingga terbentuk padanan yang
apik dan bermakna kedekatan antar partisipan dengan partisipan lain di luar
teks. Paduan ini sekaligus menjadi inti dan pesan yang ingin disampaikan dengan
memperlihatkan kesetiaan bahwa pilihan partisipan tetap bersama pasangan
Syahrul Yasin Liompo dan Agus Arifin Numang.
Sipaka
IA
sebagai alat sosialisasi politik pasangan IA bertujuan untuk memudahkan
partisipan masyarakat Bugis untuk mengingat dan memilih pasangan IA pada
pemilihan gubernur Januari 2013 mendatang. Sipaka
IA dapat dibaca sipaka iya, dalam
bahasa Bugis diartikan sebagai sikap saling mendukung. Pada bagian awal, datang’ ma...! sebagai pembuka dalam
konteks politik bahwa saat ini telah hadir pasangan pemimpin yang akan membawa
Sulawesi-Selatan lebih baik. Kehadiran sipaka
IA dalam falsafah Bugis memberikan nuansa kedekatan dengan partisipan di
luar teks. Hal ini akan semakin menguntungkan partisipan Ilham-Aziz karena akan
muncul rasa kedekatan dengan masyarakat bugis.
Secara umum,
afek yang muncul dalam teks politik adalah afek yang positif, partisipan dalam
teks saling mendukung dan tidak memperlihatkan suasana yang saling mencela. Hubungan
status sosial yang terjadi antar partisipan dalam maupun diluar teks
menunjukkan status yang horisontal (nonhierarkis). Partisipan Ilham Arief
Sirajuddin dan Aziz Qahhar Mudzakkar menempatkan dirinya sebagai partisipan
yang statusnya sama dengan partisipan lainnya. Sejalan dengan tulisan Handoyo
(2009) dalam tulisannya yang berjudul analisis tanda pada poster kampanye anti
diskriminasi ‘Guerrilla’ d bidang seni dan politik di Amerika Serikat bahwa
perlu penghargaan terhadap hak-hak kaum minoritas dan penyadaran publik
permasalahan sosial. Pasangan IA yang mendekati masyarakat merupakan salah satu
strategi untuk menyadarkan mereka masalah-masalah sosial yang belum tuntas
selama 5 tahun sehingga perlu diadakan penyegaran pemimpin.
Falsafah bugis, sipaka lebi, sipaka tau, sipaka inge
menjelaskan bahwa sikap antar sesama
manusia harus saling menghormati, menghargai dan saling mengingatkan antara
satu sama lain. Tidak melihat sebagai individu yang menunjukkan perbedaan
status antara kaya atau miskin dan lain-lain. Misalnya sipaka inge artinya saling mengingatkan menunjukkan bahwa antara
sesama dapat saling mengingatkan jika satu diantara mereka khilaf dengan apa
yang dilakukan atau diucapkan.
Status setara
dalam teks politik menggambarkan kedekatan antar partisipan sehingga partisipan
Ilham-Aziz memosisikan diri mereka sebagai bagian dari suku bugis yang
menonjolkan kedekatan mereka dalam sipaka
IA. Persamaan status sosial merupakan
salah satu karakter yang menjadi ‘jualan’ politik dalam kebersamaan di rumah
rakyat milik pasangan IA. Partisipan IA berusaha mencitrakan dirinya sebagai
pemimpin yang memberikan pelayanan kepada masyarakat secara merata. Untuk
partisipan bersuku bugis tingkat keterbacaan (readability) teks yang digunakan
familiar dan maksudnya mudah dipahami. Sedangkan partisipan diluar suku bugis
yang ada di Sulawesi-Selatan tidak semua memahami falsafah bugis ini. Falsafah
bugis ini cukup dikenal pada kalangan masyarakat bugis bahkan falsafah ini menjadi bagian dari pola kehidupan
mereka.
Tanda
non-verbal dalam data IA memiliki makna-makna tertentu. Pilihan warna biru,
hijau, orange dan merah putih merupakan warna-warna yang telah kemenangan
pasangan IA. Warna biru dimaknai sebagai karakter yang tegas dalam memimpin.
Hijau sebagai kekuatan dasar yang memberi kesejukan dan warna merah-putih
sebagai semangat untuk memotivasi dan bergerak yang disesuaikan dengan warna
bendera Indonesia sedangkan warna orange adalah warna kemenangan bagi Ilham
karena sejak dua kali bertarung di pilwalkot selalu menang dengan suara yang
signifikan.
KESIMPULAN DAN SARAN
Tanda-tanda
verba dalam wacana politik media kampanye pasangan sayang berupa: kesetiaan pendukung, penonjolan untuk melanjutkan
kepemimpinan, menggambaran keberhasilan program pendidikan dan kesehatan gratis,
prestasi, serta menunjukkan kebesaran partai yang mengusungnya sedangkan non-verbal
berupa pilihan latar hitam, warna font
kuning, gambar diri penonjolan wajah dan potret bersama pendukungnya. Secara
umum tanda-tanda yang termuat dalam wacana politik pasangan sayang adalah kesetiaan pendukung,
kedekatan dengan masyarakat, dukungan kepala daerah, kebanggaan, bersama PDK, sayang
lahir batin, prestasi, 2 pilihan tepat.
Wacana
politik pasangan IA, lebih menonjolkan citra diri sebagai pemimpin yang banyak
bekerja dan berkarya. Tampilan media kampanyenya bersifat monentum yang
dihubungkan dengan iklan-iklan televisi. Tanda-tanda verbal, memperlihatkan
bahwa sosok IA adalah sosok pemimpin yang dekat dengan masyarakat, sederhana,
energik, nasionalis dan religius. Sedangkan tanda-tanda non-verbal, ditemukan
penggunaan simbol-simbol kepartaian, warna orange, biru, hijau, dan gerakan
anggota tubuh. Secara umum, tanda-tanda dalam wacana politik pasangan IA adalah
ajakan menuju perubahan, merangkul masyarakat secara umum, pilihan orang
pintar, kepatuhan adat, kedekatan dengan pedagang dan dukungan KBPPP. Makna
interpersonalnya menunjukkan adanya
afek, status dan kontak. Afek positif dan negatif, hubungan status
sosial yang hierarkies dan non-hierarkis dan kontak menunjukkan tingkat
keterbacaan teks yang lebih mudah dipahami.
DAFTAR
PUSTAKA
Arifianto. (2009). “Peranan
Media Massa pada Pemilu Legislatif 2009”. KomTi.
Vol. 3 No.9. Desember 2009.(online), diakses 20 Maret 2012.
Danial,
Akmad. (2009). Iklan Politik TV.
Yogyakarta : LkiS.
Eko,
Umberto. (2009). Teori Semiotika. Yogyakarta : Kreasi Wacana.
Eriyanto. (2001). Analisis Wacana, Pengantar
Analisis Teks Media,
Yogyakarta
: LkiS.
Gusnawaty.
(2009). “Kesantunan dalam Surat Keluhan Sebagai Suatu Cerminan Budaya Masyarakat Sulawesi Selatan”. Linguistika. Vol. 16 No. 31. Hal
173-185.
Handaka,
Tatang. (2008). “Kajian Teoritis Semiotika Media dan Pilpres”. Semiotika. Vol. 2 No.6. Hal. 45-55.
Handoko,
Tri. (2009). “Analisis Tanda pada Poster Kampanye anti Diskriminasi ‘Guerrilla’
di Bidang Seni dan Politik di Amerika Serikat. Dimensi. Vol.7. No. 1. Hal. 41-56.
Halliday, M.A.K. dan Ruqaiya Hasan. (1994). Bahasa,
Konteks, dan Teks, Aspek-Aspek Bahasan dalam Pandangan Semiotik Sosial, Yogyakarta:
Gadjahmada University Press.
Hasyim. (2006). Representasi Opini Media dalam Konstruksi Realitas
Isu Korupsi Soeharto, Analisis Semiotika Sosial Isu Penyelesaian Hukum Kasus
Korupsi Soeharto dalam Editorial SKh. Republika. Jakarta : Depkominfo RI.
Maknun,
Tadjuddin. (2005). Tuturan Komunitas
Nelayan Makassar di Galesong: Kajian Semiotika Sosial (Disertasi). Makassar
: Pps Unhas.
Manurung,
Rosida Tiurma. (2009). “Ketidakberpihakan Jargon Politik Terhadap Perempuan di
Indonesia”. Sosioteknologi. Edisi 16.
Vol. 8. Hal. 552-559.
Masdiana.
(2009). Makna Simbolik dalam Baliho
Walikota Makassar 2008 : kajian Semiotika (Tesis). Makassar : Pps Unhas.
Mattulada.
(1997). Kebudayaan, Kemanusiaan, dan
Lingkungan Hidup. Makassar : Hasanuddin University Press.
Olii, Helena. (2007). Opini Publik.
Jakarta : P.T Indeks.
Santosa, Riyadi. (2003). Semiotika
Sosial. Surabaya : Pustaka Eurika.
Sobur, Alex.
(2009). AnĂ¡lisis Teks Media. Bandung ::
Rosda
Van Zoest, Aart. (1996). Semiotika.
Jakarta: Yayasan Sumber Agung.
Lampiran
;
Gambar 1 :
Sayang Lahir Batin, konteks fisik Jalan Alauddin menunjukkan hubungan antar
partisipan dalam teks dan di luar teks saling mendukung.
Gambar 2 :
Kepatuhan Adat, konteks fisik Jalan AP. Pettarani, Dr. Ratulangi, Kab. Enrekang
menunjukkan hubungan antar partisipan dalam teks yang saling mendukung.