Sabtu, 08 Maret 2014

jurnal tesis ibunya bulawan



MAKNA INTERPERSONAL DALAM ‘SAYANG’ LAHIR BATIN DAN KEPATUHAN ADAT  PADA PEMILIHAN GUBERNUR SUL- SEL: SEMIOTIKA SOSIAL






INTERPERSONAL MEANING OF LOVING OVERTLY AND COVERTLY AND CULTURAL COMPLIANCE  IN SOUTH SULAWESI GOVERNOR ELECTION: SOCIAL SEMIOTIC







St. Ramlah, Tadjuddin Maknun, Gusnawaty

Jurusan Bahasa Indonesia Program Pascasarjana Universitas Hasanuddin















Alamat Korespondensi :
St. Ramlah
Program Pascasarjana
Universitas Hasanuddin
Makassar, 90245
HP : 085240555800
Email:kucingputih_massenrempulu@yahoo.com



Abstrak


Makna dalam wacana politik sebagai ‘pisau’ penerjemah dan dapat merepresentasikan hubungan antarpartisipan  pelibat wacana. Penelitian ini bertujuan mengetahui tanda-tanda dan makna interpersonal dalam wacana politik pemilihan Gubernur Sulawesi Selatan periode 2013-2018. Penelitian ini dilaksanakan di Kota Makassar, Kabupaten Gowa dan Kabupaten Enrekang. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif yang digambarkan secara deskriptif. Data wacana politik bersumber dari 13 baliho dan 2 spanduk dari dua pasang calon gubernur dan wakil gubernur yaitu, Syahrul Yasin Limpo-Agus Arifin Nu’mang dan Ilham Arief Sirajuddin-Aziz Qahhar Mudzakkar. Pengambilan data menggunakan teknik dokumentasi. Data diidentifikasi dan diklasifikasi berdasarkan tanda-tanda verbal dan tanda non-verbal.Setelah itu, data diinterpretasi makna interpersonalnya meliputi: afek, status dan kontak yang disajikan secara deskripsi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa  wacana politik menunjukkan adanya tanda-tanda verbal dan non-verbal. Secara umum tanda-tanda yang termuat dalam wacana politik pemilihan Gubernur Sulawesi Selatan adalah, kesetiaan pendukung, kedekatan dengan masyarakat, dukungan kepala daerah, kebanggaan, bersama PDK, sayang lahir batin, prestasi, 2 pilihan tepat,  ajakan menuju perubahan, merangkul masyarakat secara umum, pilihan orang pintar, kepatuhan adat, kedekatan dengan pedagang dan dukungan KBPPP. Makna interpersonalnya menunjukkan adanya  afek, status dan kontak. Afek positif dan negative, hubungan status sosial yang hierarkies dan non-hierarkis dan kontak menunjukkan tingkat keterbacaan teks yang lebih mudah dipahami setelah memaknai tanda-tandanya.


Kata kunci : Makna interpersonal, wacana politik




Abstract


The meaning in the political discourse is as translation tools and can present the relationship of the participant in the discourse. This research is aimed to know symbols and interpersonal meaning of political discourse in south Sulawesi Governor Election for the period of 2013-2018. The research was conducted in Makassar city, Gowa and Enrekang Regencies. This was qualitative research explained qualitatively. The political discourse data came from 13 billboards and two banners of the two pairs of governor and vise governors candidates, they are Syahrul Yasin Limpo-Agus Arifin Nu`mang and Ilham Syrajuddin-Aziz Qahar Mudzakkar. The data were collected from documentation and classified and identified based on verbal and non verbal symbols. Moreover, the data were interpreted with interpersonal meanings including assessment, status, and contact explained descriptively. The results indicate that there are political discourse verbal and non verbal symbols. Generally, symbols of political discourse in south Sulawesi Governors election were supporters` loyalty, propinquity to the public, regency head supports, pride, togetherness with PDK, loving overtly and covertly, achievement, two is the right choice, invitation to the changes, embrace public generally, the choice of smart people, cultural compliance, closeness to the retailers and KBPPP`s supports. The interpersonal meaning showed effects, status, and contacts. Positive and negative effects, hierarchy and non-hierarchy social status relationship, and contacts sowed the levels of text which are much easier to comprehend after giving meaning to the symbols.


Keywords: interpersonal meaning, political discourse.












PENDAHULUAN

Memang benar yang diungkapkan Eriyanto (2006) bahwa makna dalam teks perlu dibongkar untuk mengetahui makna-makna tersembunyi dari teks itu sendiri. Bahasa sebagai medium dalam memaknai sesuatu sehingga efektif untuk menciptakan pengaruh serta berperan besar dalam percaturan kekuasaan. Bahasa dapat mengubah opini publik terhadap suatu masalah. Kekuatan bahasa mampu mendongkrak popularitas dan mengubah image seseorang. Tim kreatif para kandidat pada pesta demokrasi berusaha menampilkan dan menciptakan pilihan-pilihan kata yang dianggap menarik, tampil beda dan mengandung makna-makna tertentu. Danial (2009) memperjelas bahwa pasca orde baru semakin marak iklas politik televisi menjelang pemilu. Olii (2007) masing-masing kandidat berusaha menampilkan image dan beradu performance dalam realitas penciptaan dan pemertahanan citra dirinya.
Wacana politik merupakan deretan kata yang terbangun sebagai representasi dalam penyampaian pesan. Hal yang sama juga diiungkapkan Arifianto (2009) makna dalam wacana politik sangat penting karena dianggap sebagai ‘pisau’ penerjemah pikiran dan visi-misi para kandidat. Sebagai bentuk kampanye mereka memadukan gambar, mengombinasikan warna dan memilih kata, frasa, jenis huruf, sudut pandang, dan tanda-tanda lainnya menambah ‘megah’ atribut kampanye. Pilihan bahasa pun beragam, mulai dari bahasa daerah, bahasa nasional hingga penyisipan bahasa internasional juga terdapat dalam teks politik. Dalam teks politik dapat menunjukkan hubungan interpersonal antarpartisipan. Gusnawaty (2009) mengatakan bahwa metafungsi interpersonal ini berhubungan dengan realisasi hubungan atau interaksi antarpartisipan dalam teks. Teks tidak hanya menentukan content melainkan juga menentukan relationship. Hubungan interpersonal yang baik menunjukkan keterbukaan orang untuk mengungkapkan diri sehingga makin efektif komunikasi yang berlangsung di antara peserta komunikasi.
Tidak berlebihan jika Eko (2009) mengungkapkan bahwa semiotika memuat teori kebohongan, secara pricipiil semiotika merupakan sebuah disiplin ilmu yang mempelajari segala sesuatu yang dapat digunakan untuk berbohong. Sebelumnya, Van Zoest (1993) menjelaskan bahwa semiotika berhubungan dengan pengkajian tanda dan segala sesuatu yang berhubungan dengan tanda. Terkait dengan teks politik, Semiotika Sosial sebagai pendekatan yang memberi tekanan pada konteks sosial, yaitu pada fungsi sosial yang menentukan bentuk bahasa, hubungan antara bahasa dengan struktur sosial, dengan memandang struktur sosial sebagai satu segi dari sistem sosial. Sehubungan dengan suatu bahasa dalam sebuah teks itu ditentukan oleh fungsi sosial, karenanya Halliday (1994) menilai bahwa di balik sebuah teks sesungguhnya terdiri dari makna-makna dan memuat tiga komponen penting yaitu; medan wacana (field of discourse), pelibat wacana (tenor of discourse) dan sarana wacana (mode of discourse). Penelitian ini mengacu pada pelibat wacana (tenor of discourse), merujuk pada partisipan atau orang-orang yang terlibat dalam teks. Sobur (2009) menjelaskan bahwa dalam pelibat wacana menguak bagaimana sifat-sifat partisipan, status serta peran sosial dan peran bahasa yang digunakan untuk mengekspresikan hubungan peran sosial di dalamnya.
Santoso (2003) mendeskripsikan  pelibat ini terdiri dari 3 sub-bagian, yaitu: afek, status,  kontak. Afek merupakan penilaian (assesment, evaluation dan judgement) antarpartisipan di dalam teks. Afek dalam teks menunjukkan bentuk penilaian dan pilihan sikap yang terjadi antar partisipan. Penilaian ini dikategorikan menjadi 2, yaitu : penilaian positif dan negatif. Penilaian positif jika partisipannya saling mendukung, menghargai dan menyanjung partisipan lainnya dalam teks. Penilaian negatif jika partisipan saling menyerang, mengkritik, mengejek, mencela atau tidak menyetujui pendapat partisipan yang lain. Status membahas status sosial atau hubungan peran partisipan baik hubungan hierarkie maupun non-hierarki. Kontak mengevaluasi tingkat keterbacaan bahasa yang digunakan dalam teks.
Penelitian sebelumnya yang berhubungan dengan topik permasalahan ini, Tadjuddin (2005) tentang tuturan komunitas nelayan Makassar di Galesong: Kajian Semiotika Sosial.  Masdiana (2008) tentang Makna Simbolik dalam Baliho Bakal calon Walikota Makassar : Analisis Semiotika. Penelitian ini mendeskripsikan makna dari simbol-simbol yang terdapat dalam baliho. Selanjutnya, Hasyim (2006) dalam tulisannya Analisis Semiotika Sosial Terhadap Isu Penyelesaian Hukum Kasus Korupsi Soeharto dalam Editorial SKh Republika. Temuan hasil penelitian ini melalui editorial yang dimuat dua kali dengan selang waktu satu minggu, maka Harian Republika dalam mengkonstruksikan realitas upaya penyelesaian hukum kasus dugaan korupsi yang dilakukan Pak Harto selama berkuasa memperlihatkan adanya konsistensi dalam upaya mereka mengarahkan makna yang diinginkannya .   
Menjelang pemilihan gubernur Sulawesi-Selatan periode 2013-2018, para kandidat menyosialisasikan diri melalui media kampanye berupa baliho dan spanduk. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tanda-tanda dan makna interpersonal  dalam wacana politik pemilihan Gubernur Sulawesi Selatan.
               




BAHAN DAN METODE
Rancangan dan lokasi penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif yang dijabarkan secara deskripsi. Penelitian ini dilaksanakan di kota Makassar, kabupaten Enrekang dan kabupaten Gowa. Penelitian dilakukan selama lima bulan terhitung dari Mei 2012 hingga September 2012 dengan rincian satu bulan persiapan, dua bulan pengambilan data dan dua bulan analisis data serta penyusunan hasil penelitian.
Populasi dan sampel
Dalam penelitian ini digunakan kamera digital casio exilim 14 megapixel untuk merekam gambar dan teks. Data dalam penelitian ini diperoleh dari baliho dan spanduk media kampanye pemilihan periode 2013-2018. Penelitian ini dibatasi dengan mengambil data media kampanye dua pasang calon gubernur dan wakil gubernur Sulawesi Selatan, yaitu : Syahrul Yasin Limpo-Agus Arifin Nu’mang (8 baliho dan 1 spanduk) dan Ilham Arief Sirajuddin-Aziz Qahhar Mudzakkar (5 baliho dan 1 spanduk). Namun, jurnal ilmiah ini hanya memuat 2 data baliho masing-masing 1 dari pasangan sayang dan pasangan IA.
Metode pengumpulan dan analisis data
Metode pengumpulan data dalam penelitian dilakukan melalui dokumentasi. Setelah data berupa wacana politik baliho dan spanduk dikumpulkan dari lokasi penelitian, data tersebut dikelompokkan berdasarkan pasangan calon gubernur dan wakil gubernur.  Kemudian, data diidentifikasi tanda-tanda yang terdapat dalam baliho dan spanduk baik tanda verbal maupun tanda non-verbal. Setelah itu, data diinterpretasi makna interpersonalnya meliputi afek, status dan kontaknya dipaparkan secara deskripsi.

HASIL
Tanda-tanda verbal dan non-verbal
Data wacana politik pasangan Syahrul Yasin Limpo-Agus Arifin Nu’mang (gambar 1) sayang lahir batin, memperlihatkan tanda-tanda verbal maupun non-verbal. Pasangan sayang menampilkan citra diri mereka sebagai pemimpin yang berwibawa, beragama, bersahaja melalui penggambaran tanda non-verbal. Selanjutnya, tanda verbal yang dikemas sangat menarik. Pesan yang ingin disampaikan adalah mohon maaf lahir batin. Teks yang muncul dalam baliho sayang lahir batin. Ucapan yang disampaikan pada bagian akhir saja yaitu lahir batin. Penanda lain dari teks ini dalah pilihan warna font yang berbeda dengan warna teks sayang. Sayang lahir batin dimaknai bahwa pasangan Syahrul Yasin Limpo-Agus Arifin Nu’mang mengucapkan mohon maaf lahir batin kepada semua masyarakat Sulawesi Selatan.
Jika dihubungkan dengan pilkada di Sulawesi Selatan, sayang lahir batin memberi pemaknaan yang berbeda. Muatan politik terlihat dari paduan kata yang memiliki kekuatan makna. Sayang tidak hanya sebagai ungkapan rasa cinta tetapi juga menjadi akronim dari nama Syahrul Yasin Limpo dan Agus Arifin Nu’mang. Lahir batin menunjukkan jiwa dan raga sehingga kadar kecintaan terhadap pasangan ini meliputi jiwa dan raga.
Sebagai perbandingan, data wacana politik IA kepatuhan Adat (gambar 2) memuat  beberapa tanda-tanda yang mewarnai baik tanda verbal dan non verbal. Tanda non-verbal berupa foto tokoh, warna dan simbol-simbol. Pasangan IA ‘menjual’ citra diri sebagai pemimpin yang sederhana dan memiliki kedekatan dengan masyarakat. Melalui teks politik dalam gambar 2, pasangan IA menunjukkan sikap kearifan lokal dengan mengikutkan falsafah suku bugis dalam jargon-jargonnya. 
Makna Interpersonal
Pada dasarnya, penelitian ini melihat bagaimana hubungan interpersonal antar partisipan-partisipan dalam teks politik. Baliho Sayang Lahir Batin merupakan salah satu bentuk baliho yang memberi informasi dan unsur politiknya utuh dalam teks disertai pola teks yang menarik. Kemampuan tim kreatif dalam memberikan nuansa yang berbeda pada saat momentum tertentu. Tujuan untuk menyampaikan pesan secara umum dan tetap mengandung muatan politik menjelang pilkada. Situasi ini sangat menguntungkan bagi partisipan (Syahrul Yasin limpo-Agus Arifin Nu’mang) karena nilai interpersonal yang lahir dari konteks tersebut sangat tinggi.  
Konteks dari teks ini memperlihatkan bahwa partisipan pembaca atau partisipan di luar baliho seolah menjadi bagian penting. Sayang lahir batin biasanya dilafalkan oleh pasangan kekasih atau orang yang saling mencintai dan berkomitmen bersama untuk selamanya. Konteks dalam baliho ini membawa partisipan merasa dekat dengan partisipan Syahrul dan Agus. Partisipan (tim sukses/masyarakat pendukung) dalam konteks sayang lahir batin, menempatkan partisipan pembaca pada posisi yang dekat dengan partisipan sehingga memiliki penilaian yang positif. Dan, posisi serta status sosial dianggap setara, tidak memandang profesi dan kedudukan. Konteks dalam status ini memperlihatkan kadar kedekatan yang tinggi. Partisipan Syahrul Yasin Limpo-Agus Arifin Nu’mang melalui teks sayang lahir batin menyampaikan ucapan di hari kemenangan dengan menggunakan akronim nama mereka yaitu Sayang dan menambah frasa lahir batin sehingga terbentuk Sayang Lahir Batin. Kontak, tingkat keterbacaan (readability) teks yang digunakan termasuk familiar dan maksudnya mudah dipahami. Teks ini memiliki bagian-bagian yang jelas, dan tujuan yang ingin disampaikan, partisipan masyarakat pendukung tetap bersama pasangan Syahrul Yasin Liompo dan Agus Arifin Numang. 
Selanjutnya, makna interpersonal dalam wacana politik IA, kepatuhan Adat (gambar2) kontek fisik berada di beberapa ruas jalan di kota Makassar. Teks menggunakan bahasa Bugis dan di wilayah Sulawesi Selatan, suku Bugis adalah salah satu suku yang terbesar. Daya tarik dari wacana politik (gambar 2) ini adalah memunculkan falsafah suku bugis dalam teks. Falsafah Bugis memiliki nilai-nilai persaudaraan yang kuat sehigga falsafah ini menjadi pedoman dalam pergaulan.
Konteks dari situasi dalam teks memberikan pemahaman yang berbeda dari pengertian falsafah bugis.  Pada umumnya falsafah Bugis yang dikenal sipaka lebi, sipaka tau, dan sipaka inge. Hakekat dari teks tersebut adalah usaha untuk saling menghargai dan menghormati serta saling mengingatkan antara sesama manusia dan tidak memandang latar belakang baik strata sosial maupun strata pendidikan. Sementara konteks yang muncul dapat gambar 2 ini mendeskripsikan bahwa tidak hanya saling menghargai, menghormati dan saling mengingatkan tetapi juga harus bersepakat dalam mendukung pasangan Ilham-Aziz sebagai gubernur Sulawesi Selatan periode 2013-2018.
Kepatuhan Adat juga menyampaikan pesan bahwa salah satu strategi pemertahanan kearifan lokal adalah dengan adanya kesepakatan. Kesepakatan untuk bersama-sama memilih pasangan IA sebagai gubernur dan wakil gubernur. Pasangan IA merupakan salah satu  pasangan yang menjunjung tinggi nilai-nilai yang termuat dalam falsafah Bugis dan mencerminkan kesederhanaan yang bertumpu pada kearifan lokal.

PEMBAHASAN
Penelitian ini menunjukkan adanya tanda verbal dan non-verbal teks politik pasangan sayang dan IA. Pada media kampanye pasangan Syahrul Yasin Limpo-Agus Arifin Nu’mang ditemukan tanda-tanda verbal berupa: kesetiaan pendukung, kedekatan dengan masyarakat, dukungan kepala daerah, kebanggaan, bersama PDK, sayang lahir batin, prestasi, 2 pilihan tepat.  Secara umum tim sayang memunculkan  jargon untuk melanjutkan kepemimpinannya pada periode 2013-2018, menggambaran keberhasilan program pendidikan dan kesehatan gratis serta penghargaan-penghargaan tingkat nasional, menunjukkan kebesaran partai yang mengusungnya  sedangkan non-verbal berupa pilihan latar hitam, warna font kuning, gambar diri penonjolan wajah dan potret diri bersama pendukung-pendukungnya.
Semiotika dalam sebuah iklan politik dalam media memang objek yang kaya intensitas, tetapi penuh dengan gebyar mengejar popularitas (Handaka,2008). Hal ini pun terjadi menjelang pemilihan gubernur Sulawesi-Selatan periode 2013-2018. Pasangan sayang dalam teks politiknya memperlihatkan afek, status dan kontak. Santoso (2003) mengemukakan bahwa tiga komponen inilah yang menjadi indikator hubungan interpersonalnya. Dalam teks sayang lahir batin, partisipan Syahrul Yasin Limpo-Agus Arifin Nu’mang menempatkan dirinya sebagai pihak yang memiliki kedekatan dengan partisipan pendukung dan begitupun sebaliknya. Konteks fisik baliho ini berada di jalan Alauddin kota Makassar. Salah satu jalan menuju kabupaten Gowa, Takalar, jeneponto, Bantaeng, Bulukumba, Sinjai dan Selayar. Konteks fisik ini memengaruhi jumlah masyarakat yang membaca. Penempatan baliho ini tidak jauh dari terminal antar kabupaten di Malengkeri Makassar. Dimana wilayah ini dianggap sebagai wilayah kekuatan sayang. Boleh jadi, situasi ini yang melatari pemasangan baliho di daerah Alauddin. Syahrul Yasin Limpo ingin memelihara partisipannya yang berpeluang besar akan mendukungnya pada pemilihan nanti. Hal ini sejalan dengan yang diungkapkan Manurung (2009) bahwa melalui pendekatan bahasa, seseorang dapat dijadikan pendukung setia.
Partisipan pasangan sayang dengan partisipan lain di luar teks memperlihatkan kedekatan diantara mereka. Status dan hubungan sosialnya bersifat horisontal. Partisipan (tim sukses/masyarakat pendukung) dalam konteks sayang lahir batin, menempatkan partisipan pembaca pada posisi yang dekat dengan partisipan sehingga posisi dan status sosial dianggap setara, tidak memandang profesi dan kedudukan. Dalam masyarakat Makassar dikenal ada 3 golongan stratifikasi sosial, yaitu : golongan karaeng ‘bangsawan’, golongan tumaradeka ‘menengah’ dan golongan ata ‘hamba atau abdi’ (Mattulada,1985). Stratifikasi ini ternyata tidak dimunculkan dalam teks dengan anggapan bahwa status social yang horisotal menunjukkan hubungan interpersonal yang lebih terbuka.
Kontak, tingkat keterbacaan (readability) teks yang digunakan termasuk familiar dan maksudnya mudah dipahami. Pada bagian awal berbentuk kata benda fungsi subjek yaitu Sayang yang merupakan bentukan akronim nama. Lahir batin menduduki fungsi predikat sehingga terbentuk padanan yang apik dan bermakna kedekatan antar partisipan dengan partisipan lain di luar teks. Paduan ini sekaligus menjadi inti dan pesan yang ingin disampaikan dengan memperlihatkan kesetiaan bahwa pilihan partisipan tetap bersama pasangan Syahrul Yasin Liompo dan Agus Arifin Numang. 
Sipaka IA sebagai alat sosialisasi politik pasangan IA bertujuan untuk memudahkan partisipan masyarakat Bugis untuk mengingat dan memilih pasangan IA pada pemilihan gubernur Januari 2013 mendatang. Sipaka IA dapat dibaca sipaka iya, dalam bahasa Bugis diartikan sebagai sikap saling mendukung. Pada bagian awal, datang’ ma...! sebagai pembuka dalam konteks politik bahwa saat ini telah hadir pasangan pemimpin yang akan membawa Sulawesi-Selatan lebih baik. Kehadiran sipaka IA dalam falsafah Bugis memberikan nuansa kedekatan dengan partisipan di luar teks. Hal ini akan semakin menguntungkan partisipan Ilham-Aziz karena akan muncul rasa kedekatan dengan masyarakat bugis.
Secara umum, afek yang muncul dalam teks politik adalah afek yang positif, partisipan dalam teks saling mendukung dan tidak memperlihatkan suasana yang saling mencela. Hubungan status sosial yang terjadi antar partisipan dalam maupun diluar teks menunjukkan status yang horisontal (nonhierarkis). Partisipan Ilham Arief Sirajuddin dan Aziz Qahhar Mudzakkar menempatkan dirinya sebagai partisipan yang statusnya sama dengan partisipan lainnya. Sejalan dengan tulisan Handoyo (2009) dalam tulisannya yang berjudul analisis tanda pada poster kampanye anti diskriminasi ‘Guerrilla’ d bidang seni dan politik di Amerika Serikat bahwa perlu penghargaan terhadap hak-hak kaum minoritas dan penyadaran publik permasalahan sosial. Pasangan IA yang mendekati masyarakat merupakan salah satu strategi untuk menyadarkan mereka masalah-masalah sosial yang belum tuntas selama 5 tahun sehingga perlu diadakan penyegaran pemimpin.  
Falsafah bugis, sipaka lebi, sipaka tau, sipaka inge menjelaskan bahwa  sikap antar sesama manusia harus saling menghormati, menghargai dan saling mengingatkan antara satu sama lain. Tidak melihat sebagai individu yang menunjukkan perbedaan status antara kaya atau miskin dan lain-lain. Misalnya sipaka inge artinya saling mengingatkan menunjukkan bahwa antara sesama dapat saling mengingatkan jika satu diantara mereka khilaf dengan apa yang dilakukan atau diucapkan.
Status setara dalam teks politik menggambarkan kedekatan antar partisipan sehingga partisipan Ilham-Aziz memosisikan diri mereka sebagai bagian dari suku bugis yang menonjolkan kedekatan mereka dalam sipaka IA. Persamaan status sosial merupakan salah satu karakter yang menjadi ‘jualan’ politik dalam kebersamaan di rumah rakyat milik pasangan IA. Partisipan IA berusaha mencitrakan dirinya sebagai pemimpin yang memberikan pelayanan kepada masyarakat secara merata. Untuk partisipan bersuku bugis tingkat keterbacaan (readability) teks yang digunakan familiar dan maksudnya mudah dipahami. Sedangkan partisipan diluar suku bugis yang ada di Sulawesi-Selatan tidak semua memahami falsafah bugis ini. Falsafah bugis ini cukup dikenal pada kalangan masyarakat bugis bahkan falsafah  ini menjadi bagian dari pola kehidupan mereka.
Tanda non-verbal dalam data IA memiliki makna-makna tertentu. Pilihan warna biru, hijau, orange dan merah putih merupakan warna-warna yang telah kemenangan pasangan IA. Warna biru dimaknai sebagai karakter yang tegas dalam memimpin. Hijau sebagai kekuatan dasar yang memberi kesejukan dan warna merah-putih sebagai semangat untuk memotivasi dan bergerak yang disesuaikan dengan warna bendera Indonesia sedangkan warna orange adalah warna kemenangan bagi Ilham karena sejak dua kali bertarung di pilwalkot selalu menang dengan suara yang signifikan.

KESIMPULAN DAN SARAN
Tanda-tanda verba dalam wacana politik media kampanye pasangan sayang berupa: kesetiaan pendukung, penonjolan untuk melanjutkan kepemimpinan, menggambaran keberhasilan program pendidikan dan kesehatan gratis, prestasi, serta menunjukkan kebesaran partai yang mengusungnya sedangkan non-verbal berupa pilihan latar hitam, warna font kuning, gambar diri penonjolan wajah dan potret bersama pendukungnya. Secara umum tanda-tanda yang termuat dalam wacana politik pasangan sayang adalah kesetiaan pendukung, kedekatan dengan masyarakat, dukungan kepala daerah, kebanggaan, bersama PDK, sayang lahir batin, prestasi, 2 pilihan tepat.
Wacana politik pasangan IA, lebih menonjolkan citra diri sebagai pemimpin yang banyak bekerja dan berkarya. Tampilan media kampanyenya bersifat monentum yang dihubungkan dengan iklan-iklan televisi. Tanda-tanda verbal, memperlihatkan bahwa sosok IA adalah sosok pemimpin yang dekat dengan masyarakat, sederhana, energik, nasionalis dan religius. Sedangkan tanda-tanda non-verbal, ditemukan penggunaan simbol-simbol kepartaian, warna orange, biru, hijau, dan gerakan anggota tubuh. Secara umum, tanda-tanda dalam wacana politik pasangan IA adalah ajakan menuju perubahan, merangkul masyarakat secara umum, pilihan orang pintar, kepatuhan adat, kedekatan dengan pedagang dan dukungan KBPPP. Makna interpersonalnya menunjukkan adanya  afek, status dan kontak. Afek positif dan negatif, hubungan status sosial yang hierarkies dan non-hierarkis dan kontak menunjukkan tingkat keterbacaan teks yang lebih mudah dipahami.

DAFTAR PUSTAKA
Arifianto. (2009). “Peranan Media Massa pada Pemilu Legislatif 2009”. KomTi. Vol. 3 No.9. Desember 2009.(online), diakses 20 Maret 2012.
Danial, Akmad. (2009). Iklan Politik TV. Yogyakarta : LkiS.
Eko, Umberto. (2009). Teori Semiotika. Yogyakarta : Kreasi Wacana.
Eriyanto. (2001). Analisis Wacana, Pengantar  Analisis  Teks  Media, Yogyakarta : LkiS.
Gusnawaty. (2009). “Kesantunan dalam Surat Keluhan Sebagai Suatu Cerminan Budaya Masyarakat Sulawesi Selatan”. Linguistika. Vol. 16 No. 31. Hal 173-185.
Handaka, Tatang. (2008). “Kajian Teoritis Semiotika Media dan Pilpres”. Semiotika. Vol. 2 No.6. Hal. 45-55.
Handoko, Tri. (2009). “Analisis Tanda pada Poster Kampanye anti Diskriminasi ‘Guerrilla’ di Bidang Seni dan Politik di Amerika Serikat. Dimensi. Vol.7. No. 1. Hal. 41-56.
Halliday, M.A.K. dan Ruqaiya Hasan. (1994). Bahasa, Konteks, dan Teks, Aspek-Aspek Bahasan dalam Pandangan Semiotik Sosial, Yogyakarta: Gadjahmada University Press.
Hasyim. (2006). Representasi Opini Media dalam Konstruksi Realitas Isu Korupsi Soeharto, Analisis Semiotika Sosial Isu Penyelesaian Hukum Kasus Korupsi Soeharto dalam Editorial SKh. Republika.  Jakarta : Depkominfo RI.
Maknun, Tadjuddin. (2005). Tuturan Komunitas Nelayan Makassar di Galesong: Kajian Semiotika Sosial (Disertasi). Makassar : Pps Unhas.
Manurung, Rosida Tiurma. (2009). “Ketidakberpihakan Jargon Politik Terhadap Perempuan di Indonesia”. Sosioteknologi. Edisi 16. Vol. 8. Hal. 552-559.
Masdiana. (2009). Makna Simbolik dalam Baliho Walikota Makassar 2008 : kajian Semiotika (Tesis). Makassar : Pps Unhas.
Mattulada. (1997). Kebudayaan, Kemanusiaan, dan Lingkungan Hidup. Makassar : Hasanuddin University Press.
Olii, Helena. (2007). Opini Publik. Jakarta : P.T Indeks.
Santosa, Riyadi. (2003). Semiotika Sosial. Surabaya : Pustaka Eurika.
Sobur, Alex. (2009). AnĂ¡lisis Teks Media. Bandung :: Rosda
Van Zoest, Aart. (1996). Semiotika. Jakarta: Yayasan Sumber Agung.

















Lampiran ;

Gambar 1 : Sayang Lahir Batin, konteks fisik Jalan Alauddin menunjukkan hubungan antar partisipan dalam teks dan di luar teks saling mendukung.














Gambar 2 : Kepatuhan Adat, konteks fisik Jalan AP. Pettarani, Dr. Ratulangi, Kab. Enrekang menunjukkan hubungan antar partisipan dalam teks yang saling mendukung.